Tuesday 30 June 2009

Coraline

Judul : Coraline

Penulis : Neil Gaiman

Adaptasi & Ilustrasi : P. Craig Rusell

Alih Bahasa : Maya Aprillisa

Penerbit : m&c!

Cetakan : I, 2009

Tebal : 185 hlm

Genre : Novel Grafis



Novel grafis Coraline merupakan adaptasi dari novel horor fantasi Neil Gaiman dengan judul yang sama, ‘Coraline’. Novelnya sendiri terbit pada tahun 2002 dan berhasil meraih beberapa penghargaan yaitu Hugo Award for Best Novella 2002, Nebula Award for Best Novella 2003, dan Bram Stoker Award for Best Work for Young Readers 2002. Karenanya tak heran jika novel ini kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia. Di Indonesia sendiri sendiri novel Coraline telah diterjemahkan dan diterbitkan oleh Gramedia pada tahun 2004 yang lalu.



Pada tahun 2008, Coraline diadaptasi menjadi novel grafis oleh P. Craig Rusell, pemenang Harvey and Eisner Awards yang merupakan penghargaan bergengsi di dunia komik. Coraline adalah kolaborasi kelimanya bersama Neil Gaiman. Seolah tak ingin dilupakan orang, kisah Coraline terus bergaung hingga kini, terbukti dengan diadaptasinya kisah ini kedalam stop-motion animation yang disutradarai oleh Henry Selick (sutradara The Nightmare Before Christmas) dan telah dirilis pada Febuari 2009 yang lalu.



Walau filmnya tidak diputar di bioskop-bioskop tanah air, penggemar karya-karya Neil Gaiman di Indonesia tetap terhibur dengan diterjemahkannya novel grafis Coraline kedalam bahasa Indonesia dengan kualitas cetak yang sangat baik serta dicetak di atas kertas mengkilap sehingga semua keindahan ilustrasi Craig Rusell tersaji secara sempurna.



Dikisahkan Coraline adalah anak tunggal dari sebuah keluarga yang baru saja pindah ke sebuah rumah tua yang besar. Saking besarnya, rumah itu dibagi menjadi beberapa flat. Coraline dan keluarganya menepati salah satu flat, sementara flat lainnya dihuni oleh dua mantan artis yang telah tua, yaitu Miss Forcible dan Miss Spink, sedangkan flat lainnya ditempati oleh Mister Bobo, seorang pelatih sirkus tikus.



Walau Coraline merupakan anak tunggal namun tak berarti ia mendapat perhatian yang penuh dari kedua orang tuanya. Ibu dan ayahnya terlalu sibuk dengan pekerjaanya masing-masing sehingga Coraline selalu merasa kesepian. Untuk mengusir rasa sepinya Coraline menyusuri seluruh ruangan yang ada di flatnya. Ketika memasuki ruang perjamuan yang hanya digunakan untuk acara-acara penting ia menemukan sebuah pintu yang terkunci. Ternyata saat dibuka, yang ada di balik pintu terkunci itu hanyalah tembok bata. Dahulu sebelum rumah itu dibagi menjadi beberapa flat, pintu itu tembus ke flat sebelah yang hingga kini masih dibiarkan kosong. Karenanya akses menuju flat sebelah ditutup dengan tembok batu-bata.



Beberapa hari kemudian, saat kedua orang tuanya tak ada di rumah, Coraline tergerak untuk membuka kembali pintu yang telah tertutup tembok itu. Anehnya ketika ia membuka pintu itu, tembok batu bata itu lenyap dan berubah menjadi sebuah koridor gelap. Rasa penasarannya membuat Coraline menyusuri koridor gelap itu dan sampailah ia ke sebuah ruangan yang persis sama dengan flatnya. Di situ juga ada ayah dan ibunya, hanya saja jari-jari tangan ibunya tampak lebih panjang dan mata mereka terbuat dari kancing hitam.



Caroline seolah masuk dalam dunia baru yang paralel dengan dunia nyata, hanya saja dunia di balik pintu ini ia melihat banyak keanehan seperti hewan yang bisa berbicara, Mrs Spink dan Foccible yang tampak terlihat lebih muda, buku gambar yang bisa bergerak, makanannya yang lebih enak, dll. Selain itu kedua orang tuanya ‘yang lain’ tampak lebih perhatian dibandingkan orang tua aslinya.



Awalnya memang semua terasa menakjubkan dan lebih menarik daripada dunianya sendiri. Namun Coraline menjadi curiga ketika kedua orang tua ‘yang lain’ terus membujuknya untuk tinggal dan menjadi anak mereka di sana, syaratnya Coraline harus mau dijahit matanya dengan kancing hitam seperti mereka. Coraline menolak dan ia bergegas kembali ke dunianya.



Namun setelah ia kembali ternyata orang tuanya lenyap. Yang ia temui hanyalah bayangan kedua orang tuanya dibalik cermin lemari yang seolah meminta pertolongan padanya. Saat itulah Coraline yakin bahwa kedua orang tuanya diculik oleh ayah ibunya ‘yang lain’, terperangkap dalam dunia di balik pintu flatnya. Karenanya Coraline kembali memasuki dunia di balik pintu untuk mengembalikan kedua orang tuanya ke dunia nyata.



Niat Coraline untuk membebaskan kedua orang tuanya segera diketahui oleh ibunya yang lain, karenanya mahluk itu menghukum Coraline dengan menyekapnya ke dalam sebuah lemari. Di situ Coraline bertemu dengan hantu 3 anak kecil dari masa lalu yang telah lama jiwanya disekap dalam lemari tersebut.



Setelah dibebaskan, Coraline membuat kesepakatan dengan ibunya yang lain bahwa jika ia berhasil menemukan kedua orang tuanya dan membebaskan jiwa tiga anak kecil yang tersekap, maka ibunya yang lain harus membebaskan kedua orang tua aslinya dan membawanya pulang ke tampat asalnya . Sebaliknya jika gagal, Coraline bersedia tinggal selamanya bersama ibunya yang lain di dunia di balik pintu flatnya, termasuk mengganti matanya dengan mata kancing.



Tantangan ini diterima oleh ibunya yang lain dan mulailah petualangan Caroline yang menegangkan untuk membebaskan jiwa ketiga anak yang telah lama mati, menemukan kedua orang tuanya, dan bersama-sama mereka kembali kepada kehidupan normalnya.



Kisah yang ditulis oleh Neil Gaiman ini tentu saja mengingatkan kita pada dunia Narnia (C.S Lewis) dimana terdapat dunia lain di balik sebuah pintu. Namun jika dunia Narnia merupakan dunia baru yang berbeda dengan dunia nyata, dunia dibalik pintu rumah Coraline adalah dunia yang sama persis dengan dunia nyata termasuk manusianya, hanya saja wujud mereka tampak lebih mengerikan dibanding aslinya.



Kisah yang ditulis Neil Gaiman dan ilustrasi yang dibuat Craig Russell memang menghadirkan sebuah kisah petualangan dengan nuansa yang suram . Walau sebagian besar panel-panel gambar dalam buku ini dihiasi ilustrasi yang indah dan didominasi sapuan warna-warna yang cerah namun ada banyak ilustrasi yang berpotensi untuk mencekam pembacanya seperti bayangan di cermin, wajah menakutkan, hantu, gambaran mimpi kelam, sumur tua, sepenggal tangan, dll. Untungnya tak ada darah dalam novel ini, karenanya kengerian yang ditampilkan oleh Gaiman dan Russel dalam buku ini masih dapat diterima sebagai bacaan remaja yang menghibur sekaligus mendidik.



Dibalik kisahnya yang suram dan mencekam memang ada pesan moral yang sangat baik bagi para remaja yang terkandung dalam kisah Coraline. Rasa tidak puas terhadap keluarga sendiri yang dialami oleh Coraline tentunya hal yang umum dirasakan oleh para remaja. Sama seperti yang diinginkan Caroline, kitapun selalu mendambakan bahwa semua hal yang kita inginkan bisa terlaksana, kita ingin hidup bebas sekehendak kita, tanpa larangan, tanpa batasan.



Dari peristiwa yang dialami Coraline, akhirnya ia sendiri menyadari bahwa kemudahan untuk memperoleh semua hal yang diinginkannya ternyata tak juga mengasyikan. Ketika ibunya yang lain membujuk Coraline untuk tinggal bersamanya dan dijanjikan akan mengabulkan semua keinginannya, ternyata Coraline yang telah menyadari kekeliruannya serta merta menolaknya.



Kau betul tidak paham, ya? Aku tidak mau semuanya terkabul. Tak ada yang mau begitu. Apa asyiknya kalau aku punya semua yang kuinginkan? Semudah itu, dan itu semua tidak berarti apa-apa. Sesudah itu apa ya?” (hal 133).



@h_tanzil